Peringatan Hari Anak Nasional Kota Semarang Tahun 2022
SELAMAT HARI ANAK NASIONAL
Anak dan Hak-Haknya
Sebagai penentu serta tombak keberlangsungan bangsa, anak merupakan cikal yang akan menentukan arah perkembangan dan peradaban kehidupan bangsa. Untuk membentuk sebuah bangsa yang luhur dan berdikari tentunya dibutuhkan pula generasi penerus yang berdaya dan mumpuni. Generasi yang sehat, hebat, dan cerdas tentunya dibutuhkan untuk membentuk masa depan bangsa yang lebih cemerlang. Agar menjadi generasi penerus bangsa yang luhur, cerdas, dan berdikari hak-hak yang dimiliki oleh anak tentunya haruslah terpenuhi. Terdapat 10 hak anak sebagai bagian dari bangsa yang harus dipenuhi diantaranya adalah hak untuk bermain, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak untuk mendapatkan identitas, hak untuk mendapatkan status kebangsaan, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk mendapatkan akses kesehatan, hak untuk mendapatkan rekreasi, hak untuk mendapatkan kesamaan, serta hak untuk berperan dalam pembangunan.
Hari Anak Nasional dan Sejarahnya
Hari Anak Nasional merupakan sebuah momentum besar yang diperingati sebagai bentuk kepedulian seluruh masyarakat Indonesia atas keamanan, kesejahteraan, serta kebahagiaan kehidupan anak. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 44 tahun 1984, tanggal 23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional. Penetapan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional yang terus diperingati hingga hari ini tentunya tidaklah terjadi dengan sekali waktu tanpa perjalanan panjang sebelumnya. Terdapat berbagai lika-liku, pergantian, serta sejumlah opini dan gagasan dari berbagai pihak tentang Peringatan Hari Anak Nasional.
Pada tahun 1951, Kongres Wanita Indonesia (Kowani) menyepakati bahwa Pekan Kanak-Kanak akan diperingati setiap tanggal 18 Mei. Setelah berdiskusi dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada 1953, Kowani mengubah peringatan Pekan Kanak-Kanak menjadi 1-3 Juli agar dapat dirayakan bersamaan dengan hari libur sekolah. Berdasarkan saran dari Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani, pada 1959 Pekan Kanak-Kanak diubah lagi menjadi tanggal 1-3 Juni bertepatan dengan Hari Anak Internasional.
Pada Kongres Kowani tanggal 24 – 28 Juni tahun 1964, diputuskan bahwa peringatan Pekan Kanak-Kanak diperpanjang dari tanggal 1-6 Juni. Setahun setelahnya, pada peringatan Pekan Kanak-Kanak di tahun 1965, Pekan Kanak-Kanak kemudian diubah penyebutannya menjadi Hari Kanak-Kanak Nasional. Pada tahun 1967, tanggal peringatan Hari Kanak-Kanak diubah kembali dan Dewan Pimpinan Kowani. Tanggal peringatan Hari Kanak-Kanak yang sebelumnya ditentukan pada 6 Juni dicabut dan kembali menggunakan nama Pekan Kanak-Kanak. Pada tahun tersebut, Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kedutaan menetapkan tanggal 18 Agustus sebagai Hari Kanak-Kanak. Karena banyak pihak tidak puas akan keputusan tersebut, pada 26-28 Maret 1970, Kowani dan Gabungan Taman Kanak-Kanak Indonesia mengadakan kongres dan menetapkan tanggal 17 Juni sebagai Hari Kanak-Kanak Nasional. Pada 1980, Peringatan Hari Kanak-Kanak berubah nama menjadi Hari Anak Nasional.
Seiring berjalannya waktu, beberapa pihak mempertanyakan mengapa Peringatan Hari Anak Nasional diperingati setiap 17 Juni karena dirasa tidak memiliki nilai sejarah yang berkaitan dengan anak. Kemudian, pada 1984, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Peringatan Hari Anak Nasional dengan alasana tanggal tersebut bersamaan dengan ditetapkannya UU Kesejahteraan RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dengan diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional, tanggal 23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional dan diperingati hingga hari ini.
Cegah Kawin Bocah
Tema Peringatan Hari Anak Nasional 2022 oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Semarang adalah “Cegah Kawin Bocah”. “Ce” diambil dari dua huruf pertama kata cerdas yang merujuk pada anak yang cerdas dan “Gah” diambil dari bahasa jawa yang berarti penolakan. Jika digabungkan Cegah Kawin Bocah diartikan sebagai anak yang cerdas adalah anak yang menolak menikah pada usia anak. Lalu, mengapa pernikahan anak harus dicegah?
Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan formal atau informal yang dilakukan pada usia anak, dimana salah satu atau kedua belah pihak berusia di bawah 18 tahun. Pada usia tersebut, anak dinilai belum memiliki kematangan fisik, psikologis, maupun ekonomi. Pada usia ini pula belum terbentuk kesiapan mental anak untuk menikah. Pada saat menikah, terdapat beberapa kewajiban dan hak yang harus dipenuhi antar pasangan, sementara itu, anak cenderung belum siap akan hal itu, sehingga keharmonisan dalam rumah tangga akan sangat terpengaruhi dan menjadikan risiko terjadinya perceraian semakin meningkat. Kemudian, secara fisik, remaja perempuan memiliki tulang panggul yang terlalu kecil sehingga dapat membahayakan ibu dan anak dalam proses persalinan. Sebelum berusia 18 tahun, sel-sel rahim remaja perempuan belum siap, sehingga dapat menimbulkan risiko terkena kanker leher rahim serta penyakit Human Papiloma Virus (HPV). Sebagai bentuk pemenuhan hak anak yakni hak untuk mendapatkan akses kesehatan, sudah selayaknya edukasi, kampanye, serta dukungan pencegahan pernikahan anak harus selalu digalakkan, sehingga hak anak untuk sehat dan terhindar dari pernikahan anak dapat terpenuhi.
Dampak Negatif Pernikahan Anak
Dampak negatif pernikahan anak jauh lebih banyak dirasakan dibandingkan dampak positif yang ditimbulkan. Ditinjau dari segi kesehatan dan sosial dampak negatif pernikahan anak adalah:
- Dari Segi Kesehatan
Pada usia anak, organ reproduksi dan fisik remaja perempuan belumlah matang. Leher rahim mereka juga masih sensitif, sehingga jika dipaksakan untuk hamil akan berpengaruh pada proses kehamilan serta persalinan. Persalinan di usia anak dapat meningkatkan risiko kecacatan pada anak, kematian ibu dan anak saat dan pasca melahirkan, serta risiko komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas. Selain itu, risiko mengalami anemia selama masa kehamilan dan persalinan juga tinggi.
- Dari Segi Sosial
Dari segi sosial, perkawinan anak dapat mengurangi kebebasan pengembangan diri serta mengurangi kesempatan anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena anak tidak lagi hanya terfokus pada dirinya sendiri, namun juga pada keluarga, anak-anaknya, serta pasangannya.
Komentar